HUKUM PERJANJIAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Buku II KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum
dan bagian khusus. Bagian umum bab I sampai dengan bab IV, memuat
peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya.
Buku III KUH Pdt menganut azas “kebebasan berkontrak” dalam membuat perjanjian,
asal tidak melanggar ketentuan apa saja, asal tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari
pasal 1338 KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud
dengan pasal ini adalah bahwa semua perjanjian “mengikat” kedua belah pihak.
Terjadinya prestasi, wanprestasi, keadaan memaksa,
fiudusia, dan hak tangunggan dikarenakan hukum perikatan
menurut Buku III B.W ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta
benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan untuk
memenuhi tuntutan itu. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu
selalu berupa suatu tuntut-menuntut maka Buku III juga dinamakan hukum
perhutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
“debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang
menurut undang-undang dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang.
2. Melakukan suatu perbuatan.
3. Tidak melakukan suatu perbuatan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Memahami
Standar Kontrak ?
2. Memahami
Macam-macam Perjanjian ?
3. Memahami
Syarat Sahnya Perjanjian ?
4. Memahami
Saat Lahirnya Perjanjian ?
5. Memahami
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Standar Kontrak.
· Menurut Mariam
Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus:
a. Kontrak
Standar Umum, artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
b.
Kontrak Standar Khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik
adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
2. Macam-Macam Perjanjian.
· Macam-macam
Perjanjian Obligator:
a.
Perjanjian dengan Cuma-Cuma Dan Perjanjian Dengan Beban.
· Perjanjian
dengan Cuma-Cuma Ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
· Perjanjian
dengan Beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri.
b. Perjanjian Sepihak Dan Perjanjian
Timbal Balik.
· Perjanjian
Sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja.
· Perjanjian
Timbal Balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua
belah pihak.
c. Perjanjian Konsensuil, Formal Dan
Riil.
· Perjanjian
Konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
· Perjanjian
Formal ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu,
yaitu dengan cara tertulis.
· Perjanjian
Riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus
diserahkan.
d. Perjanjian Bernama, Tidak Bernama,
Dan Campuran.
Perjanjian
Bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan
ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah
titel VIIA.
Perjanjian
Tidak Bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian
Campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di
kualifikasikan.
3. Syarat Syahnya Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
a.
Kesepakatan
Mereka
yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian
itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan
tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
b.
Kecakapan
Yaitu
bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
c.
Hal tertentu.
Maksudnya objek yang diatur kontrak harus jelas,
setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya kontrak fiktif.
d. Sebab
yang dibolehkan.
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan
bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal1330 KUH Perdata menyebutkan
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
Orang
yang belum dewasa Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
a.
Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat
perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.
b.
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria
adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah
mencapai umur 16 tahun.
· Mereka
yang berada di bawah pengampuan.
· Orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
· Semua
orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya
adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu. Suatu sebab
yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan
hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban. Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena
mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka
salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus
mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan
(oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi,
maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
4. Saat Lahirnya Perjanjian.
Ada
beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian
yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut
teori ini, perjanjian telah lahir pada saat atas suatu penawaran telah
ditulis
surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak
lain
menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending
Theori).
Menurut
teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian.
Tanggal
cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.
c. Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie).
Menurut
teori ini saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi
diketahui
isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat
diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan
tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si
penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian.
5. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu
Perjanjian.
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua
macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat
subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan
dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
a.
Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
b.
Harus ada wanprestasi (breach of contract)
c.
Harus dengan putusan hakim (verdict)
· Pelaksanaan
Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi
atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak
supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya
menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama
perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak.
Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau
sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
· Pembayaran
1.
Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak
dalam perjanjian
2.
Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3.
Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4.
Media pembayaran yang digunakan
5.
Biaya penyelenggaran pembayaran
· Penyerahan
Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership
adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang
lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut.
Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
1.
Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2.
Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan
yaitu teori kausal dan teori abstrak
3.
Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4.
Penyerahan harus nyata (feitelijk)
· Penafsiran
dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan
apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas
menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan
lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak
boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan
penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1.
Maksud pihak- pihak
2.
Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3. Kebiasaan
setempat
4.
Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5.
Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6.
Tafsiran berdasarkan akal sehat
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak
yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang
dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
1.
Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka
waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.
Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan
atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.
Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4.
Terlibat hukum
5.
Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan
perjanjian
· Pelaksanaan
perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya
pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan
perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh
pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara
sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau
dibatalkan secara sepihak saja.
BAB III
PENUTUP
Jadi, pada intinya tidak akan ada kesepakatan yang
mengikat seseorang jika tidak ada perjanjain yang disepakati oleh masing-masing
pihak.. Dan secara garisbesar Hukum perjanjian akan sah didepan hukum jika
memenuhi syarat sahnya yaitu sebagai berikut:
-
Terdapat kesepakatan antara dua belah pihak yang dibuat berdasarkan kesadaran
dan tanpa ada tekanan dari pihak manapun.
-
Kedua belah pihak mampu membuat perjanjian dalam keadaan stabil dan tidak dalam
pengawasan pihak tertentu yang bias membatalkan perjanjian.
-
Terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian sebagai objek yang jelas yang
dapat dipertanggungjawabkan
-
Hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar sebagai niat baik dari kedua
belah pihak.
Dalam
kitab Undang undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1331(1) dinyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi
mereka yang membuatnya.
Artinya, apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
Artinya, apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
Akan tetapi, apabila hukum
perjanjian tidak memenuhi unsure subjektif, misalnya salah satu pihak berada
dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat
dibatalkan di hadapan hakim. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing
masi pihak menyepakati isi perjanjian. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana
apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini (wan prestasi)?
Maka
pihak yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut:
-
Mengganti kerugian yang di derita oleh pihak yang satunya
-
Materi perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau dihadapan hakim
-
Mendapatkan peralihan resiko, dan
-
Membayar seluruh biaya perara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya
ke muka hakim.
DAFTAR PUSTAKA .
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/pengertian-perjanjianmacam-macamnyajenis-jenisnya-syarat-sahnya-dan-sebab-membatalkan-perjanjian/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/standar-kontrak/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/pembatalan-dan-pelaksanaan-suatu-perjanjian/
0 komentar:
Posting Komentar